Jumat, 20 November 2009

GAGASAN

MAHASISWA CERDAS


Oleh : Yanuarius Tekege (Ketua PMKRI cabang Nabire Periode 2007 - 2009)


Banyak mahasiswa dan dosen tidak menyadari bahwa tujuan praktis pembelajaran di perguruan tinggi (PT) seharusnya terus berubah sesuai tuntutan kemajuan sosial. Sampai sekarang, PT terus mengusahakan agar tamatannya pintar. Pintar artinya punya keterampilan atau pengetahuan. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, dengan gaji yang tinggi. Mencari pekerjaan adalah kegiatan menjajakan ijazah.

Dunia manusia berubah dengan cepat. Seharusnya PT lebih mencerdaskan agar tamatannya mampu memperoleh kedudukan terhormat di masyarakaat, dengan penghasilan yang besar. Perhatikan, bahwa pekerjaan yang baik berbeda dengan kedudukan sosial yang terhormat; dan gaji yang tinggi tidak sama dengan penghasilan yang besar. Apakah kita dapat mengharapkan lembaga PT segera mengubah paradigma pembelajarannya? Mungkin ini mimpi yang terlalu panjang. Lembaga para pakar pendidikan di manapun di dunia ini. Selalu lembang dan konservatif. Walaupun para pakar pendidikan suka bicara tentang perubahan, tetapi mereka sendiri menolak perubahan.

Bagaimana dengan mahasiswa? Gambaran garis besarnya: 30% mahasiswa bodoh, 60% sedang-sedang dan 10% cerdas. Ini perlu penjelasan singkat. Yang bodoh adalah para mahasiswa yang seluruh waktu belajarnya dipakai untuk menghafal materi kuliah. Mereka tidak mau berubah. Mungkin mereka cepat lulus. Tetapi ijazah tidak lebih berharga dari sertifikat penataran Pancasila jaman dulu. Kelompok kedua yang mayoritas adalah para mahasiswa yang sebenarnya punya otak cukup encer, tetapi mudah puas dengan status mereka, dan suka berlama-lama menduduki kursi kuliah. Kalau tamat, mereka cocok untuk pekerjaan-pekerjaan konvensional. Karena mereka memang dapat menjadi pegawai yang baik: patuh, taat, tidak menuntut, rajin, sehingga disukai oleh kaum kapitalis pemilik modal atau para birokrat priyayi. Sedangkan 10% mahasiswa yang cerdas ini sering dianggap pembangkang oleh para dosen. Mereka mempelajari banyak hal sesuai minatnya. Mereka sadar bahwa dosen hanyalah salah satu sumber belajar dari sekian banyak sumber belajar yang lain. Setelah tamat, mereka lebih suka mengaktualkan diri dengan menciptakan kegiatan sendiri. Lembar ijazah dan gelar sarjana tidak terlalu dipedulikannya.

Perkembangan sosial memang semakin jelas membuktikan bahwa kecerdasan intelektual saja sudah tidak memadai untuk hidup layak. Sudah semakin berjubel tamatan PT yang hanya sekedar jadi “kuli” meskipun mereka mengantongi ijazah dengan nilai tertinggi. Celakanya, PT masih saja mengajak para mahasiswanya mangagung-agungkan intelektualitas.

Ada berita baik. Yaitu bahwa setiap mahasiswa sesungguhnya cerdas kalau dia mau. Pengelompokan seperti tadi adalah hasil pilihan. Namun apapun pilihan anda, tetap ada ‘harga’ yang harus dibayar. Untuk jadi mahasisiwa cerdas, harganya tentu saja lebih mahal dari pada menjadi mahasiswa yang bodoh dan sedang-sedang.

Ini nasihat yang berlaku untuk ketiga kelompok mahasiswa: Cepatlah menamatkan kuliahmu. Untuk itu ketahuilah terlebih dahulu apa kesukaan dan pola pikir dosenmu, lalu ikutilah atau turutilah, maka anda akan cepat lulus, setelah tamat, terserah anda. Penulis adalah Ketua PMKRI Cabang Nabire Periode 2007-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar